Konservasi Kawasan Kota Tua Jakarta

BAB I
PENDAHULUAN

1.1        Latar Belakang
Kota Tua Jakarta merupakan salah satu kota tua yang ada di Indonesia, bahkan ke dapannya akan diusulkan kepada UNESCO untuk menjadi salah satu warisan budaya dunia. Dalam proses pembentukan sebuah kota atau kawasan, Kota Tua Jakarta yang berkembang di sepanjang aliran sungai Kali Besar memiliki embrio kawasan yang menjadi cikal bakal pertumbuhan kota tua itu sendiri; yaitu kawasan di sekitar Kali Besar itu sendiri dan di sekitar Taman Fatahillah. Karakter atau identitas kota ini salah satunya terefleksi dalam arsitektur kota yang dimilikinya.
Arsitektur kota ini berkepentingan dengan unsur-unsur fisik dan bentuk arsitektur kota, serta hubungan antar bagian kota yang lainnya sebagai satu kesatuan. Heritage built merupakan salah satu karakter arsitektur yang menjadi kekayaan tersendiri bagi suatu kota. Cultural Heritage mencerminkan perjalanan sejarah dan budaya yang pernah berlangsung. Sehingga layak disebut sebagai karakter arsitektur warisan tradisional bernilai historis dan romantisme tinggi yang penting bagi kehidupan kota.   
Melestarikan dan mengoptimalkan warisan tradisional merupakan penghargaan terhadap peran dan jasanya dalam membentuk sejarah dan memori kota. Secara keseluruhan kawasan Kota Tua Jakarta memiliki bentuk dan elemen dari sebuah kota yang masih berfungsi baik. Kawasan Kota Tua memiliki bangunan-bangnan bernilai sejarah dan arsitektur yang tinggi, seperti Museum BI, Museum Fatahillah,Museum Bank Mandiri dan bangunan disepanjang Kali Besar.Upaya pelestarian Kota Tua Jakarta telah dimulai sejak tahun 1972 dengan dikeluarkannya Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta No. Cb.11/1/12/1972 tentang penetapan bangunan bersejarah dan monumen di wilayah DKI Jakarta sebagai bangunan yang dilindingi. Berbagai studi dan upaya sudah pernah dilakukan oleh pemerintah maupun pihak akademis dan terkadang beberapa proyek telah dikerjakan, tetapi tidak ada satupun yang menghasilkan perubahan dan perbaikan yang berarti. Bahkan dari tahun ke tahun kualitas kawasan Kota Tua Jakarta mengalami penurunan, semakin banyak bangunan tua yang dibiarkan rusak. Padahal kawasan Kota Tua Jakarta tersebut mencerminkan beberapa prinsip tata kota Renaissance dan kota Amsterdam Belanda pada abad ke-17. Di tengah masalah tersebut ada kebutuhan pendekatan yang lebih menyeluruh yang bukan saja mampu memanfaatkan segala potensi kota tua yang ada, baik potensi fisik maupun potensi non fisik, namun yang tidak kalah penting lagi adalah dengan melibatkan seluruh instansi yang terkait sehingga diharapkan dapat mencapai hasil yang optimal.

1.2         Tujuan
Tujuan studi kawasan konservasi kota tua, khususnya kawasan kota tua Jakarta adalah mendeskripsikan kondisi fisik bangunan-bangunan bersejarah di kawasan kota tua Jakarta setelah mengalami pemugaran yang kemudian akan dianalisis sesuasi klasifikasi pemugaran masing-masing bangunan.

1.3         Rumusan Masalah
  1. Bagaimana kondisi fisik bangunan bersejarah yang ada dikawsan kota tua Jakarta saat ini ?
  2. Perubahan apa saja yang terdapat pada bangunan bersejarah yang ada dikawasan kota tua Jakarta setelah mengalami pemugaran ?



BAB II
TELAAH PUSTAKA

1.1         Kriteria Bangunan Kuno
Kriteria tersebut sesuai dengan Pasal 8 Perda DKI Jakarta No. 9/1999 tentang Pelestarian dan Pemanfaatan Lingkungan dan Bangunan Cagar Budaya, penentuan bangunan cagar budaya ditetapkan berdasarkan kriteria sebagai berikut:
  • Sejarah 
  • Umur 
  • Keaslian
  • Kelangkaan

1.2         Vitalitas Kawasan Suatu Kota
Dalam perkembangan suatu kota, kita seringkali menjumpai beberapa kawasan di perkotaan yang cenderung mati karena ditinggalkan penghuninya atau masih hidup tapi pertumbuhan dan perkembangannya kacau dan tidak terkendali atau terdapat kawasan yang hidup yang sebenarnya menyimpan potensi untuk berkembang lebih baik lagi. Oleh karena itu terhadap kawasankawasan tersebut perlu dilakukan upaya untuk menghidupkan kembali kawasan dengan pertumbuhan dan perkembangan yang terarah dan terencana serta hidup dengan kemampuan optimal sesuai dengan daya dukungnya. Kualitas kota dan pelayanannya perlu ditingkatkan agar mampu mengakomodasi segala kegiatan dan fungsi yang akan direncanakan dan diimplementasikan sebagai bagian dalam kegiatan revitalisasi kawasan.
Mengingat peran penting dari keberadaan kawasan kota bersejarah dan bangunan-bangunan kuno di dalamnya, serta perlunya tingkat vitalitas yang tinggi bagi keterpeliharaan kawasan dan bangunan-bangunan tersebut, maka diperlukan suatu kajian lebih lanjut terkait kondisi dan tingkat vitalitas kawasan kota saat ini, sekaligus penyebab utama menurunnya vitalitas kawasan dari suatu kota tersebut. Studi ini bertujuan untuk mengidentifikasi dan menganalisis kondisi dan tingkat vitalitas kawasan kota, serta penyebab utama menurunnya vitalitas kawasan tersebut. Vitalitas kawasan merupakan kualitas fungsi lahan yang dapat memberikan konstribusi peningkatan kegiatan sebagai daya tarik, sehingga meningkatkan kegiatan ekonomi sebagai faktor pertumbuhan kawasan.
Untuk mengembalikan vitalitas kawasan diperlukan perlakuan terhadap komponen vitalitas yang terdiri dari kegiatan sebagai generator kawasan serta prasarana jalan sebagai Linkage System. Kegiatan sebagai generator dapat terlihat pada pemanfaatan lahan kawasan yang menjadi daya tarik baik pengunjung maupun pengusaha dalam menginvestasikan atau melakukan kegiatan komersial di lahan tersebut., dan salah satu faktor pendukung untuk meningkatkan fungsi generator kawasan adalah keragaman kegiatan (potensi kawasan). Identifikasi Bangunan dan Kawasan Bersejarah Oud Batavia dapat juga didefinisikan sebagai upaya untuk menghidupkan kembali suatu kawasan yang telah mati, dimana pada masa dulu pernah hidup, atau mengendalikan dan mengembangkan kawasan untuk menemukan kembali potensi yang dimiliki atau pernah dimiliki atau yang seharusnya dimiliki sebuah kawasan untuk dapat meningkatkan kualitas lingkungan kawasan itu sendiri yang selanjutnya akan berdampak pada peningkatan kualitas hidup dari penghuninya.
Identifikasi bangunan dan Kawasan Bersejarah dapat disebut sebagai salah satu bentuk kebijaksanaan pemanfaatan lahan pada suatu kawasan yang dapat menjawab permasalahan-permasalahan pada kawasan tersebut dengan mengoptimalkan pengadaan dan pemanfaatan lahan sesuai tujuan dan kepentingan masyarakatnya dengan cara mengembalikan atau menjaga keutuhan lingkungan tersebut sesuai dengan rujukan kurun waktu tertentu hingga saat ini.

1.3         Kriteria, Tolak Ukur dan Penggolongan Benda Cagar budaya
Berdasarkan Peraturan Daerah DKI Jakarta no 9 tahun 1999 bab IV, dijabarkan tolok ukur kriteria sebuah bangunan cagar budaya adalah :
  1. Tolak ukur nilai sejarah dikaitkan dengan peristiwa-peristiwa perjuangan, ketokohan, politik, sosial, budaya yang menjadi symbol nilai kesejarahan pada tingkat nasional atau Daerah Khusus Ibukota Jakarta.
  2. Tolak ukur umur dikaitkan dengan usia sekurang-kurangnya 50 tahun.
  3. Tolak ukur keaslian dikaitkan dengan keutuhan baik sarana dan prasarana lingkungan maupun struktur, material, tapak bangunan dan bangunan di dalamnya.
  4. Tolak ukur tengeran atau landmark dikaitkan dengan keberadaaan sebuah bangunan tunggal monument atau bentang alam yang dijadikan symbol dan wakil dari suatu lingkungan sehingga merupakan tanda atau tengeran lingkungan tersebut.
  5. Tolak ukur arsitektur dikaitkan dengan estetika dan rancangan yang menggambarkan suatu zaman dan gaya tertentu.

Dari kriteria dan tolak ukur di atas lingkungan cagar budaya diklasifikasikan dalam 3 golongan, yakni:
  • Golongan I: lingkungan yang memenuhi seluruh kriteria, termasuk yang mengalami sedikit perubahan tetapi masih memiliki tingkat keaslian yang utuh.
  • Golongan II: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, telah mengalami perubahan namun masih memiliki beberapa unsur keaslian.
  •  Golongan III: lingkungan yang hanya memenuhi 3 kriteria, yang telah banyak perubahan dan kurang mempunyai keaslian

1.4         Klasifikasi Bangunan Cagar Budaya di Indonesia

Berdasarkan Perda DKI Jakarta No.9/ 1999 Pasal 10 ayat 1, bangunan cagar budaya
dibagi menjadi 3 golongan, yaitu:
  • GolonganA
Pemugaran bangunan pada golongan ini merupakan upaya preservasi berdasarkan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 19):
  1. Bangunan dilarang dibongkar dan atau diubah
  2. Apabila kondisi bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapat  dilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai dengan  aslinya
  3. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus menggunakan bahan yang sama/ sejenis  atau memiliki karakter yang sama, dengan mempertahankan detail ornamen bangunan yang telah ada Dalam upaya revitalisasi dimungkinkan adanya penyesuaian/  perubahan fungsi sesuai rencana kota yang berlaku tanpa mengubah bentuk bangunan  aslinya
  • GolonganB
Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya preservasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 20):
  1. Bangunan dilarang dibongkar secara sengaja dan apabila kondisi fisik bangunan buruk, roboh, terbakar atau tidak layak tegak dapatdilakukan pembongkaran untuk dibangun kembali sama seperti semula sesuai denganaslinya
  2. Pemeliharaan dan perawatan bangunan harus dilakukan tanpa mengubah pola tampak depan, atap dan warna, serta dengan mempertahankan detail dan ornamen bangunan yang penting
  3. Dalam upaya rehabilitasi dan revitalisasi dimungkinkan adanya perubahan tata ruang dalam asalkan tidak mengubah struktur utama bangunan Konservasi Arsitektur – Kawasan Sasiun Kota Beos | 7
  4. Di dalam persil atau lahan bangunan cagar budaya dimungkinkan adanya bangunan tambahan yang menjadi suatu kesatuan yang utuh dengan bangunan utama.
  • GolonganC
Pemugaran bangunan golongan ini merupakan upaya rekonstruksi dan adaptasi dengan ketentuan sebagai berikut (Perda DKI Jakarta no.9/ 1999 Pasal 21):
  1. Perubahan bangunan dapat dilakukan dengan tetap mempertahankan pola tampak muka, arsitektur utama dan bentuk atap bangunan
  2. Detail 7 ornament dan bahan bangunan disesuaikan dengan arsitektur bangunan disekitarnya dalamkeserasian lingkungan
  3. Penambahan bangunan di dalam perpetakan atau persil hanya dapa dilakukan di belakang bangunan cagar budaya yang harus sesuai dengan arsitektur bangunan cagar budaya dalam keserasian lingkungan
  4.  Fungsi bangunan dapat diubah sesuai dengan rencana kota.



BAB III
GAMBARAN KAWASAN DAN BANGUNAN CAGAR BUDAYA


3.1         Museum Bank Mandiri

Sejarah
Museum Bank Indonesia adalah sebuah museum di Jakarta, Indonesia yang terletak di Jl. Pintu Besar Utara No.3, Jakarta Barat (depan stasiun Beos Kota), dengan menempati area bekas gedung Bank Indonesia Kota yang merupakan cagar budaya peninggalan De Javasche Bank yang beraliran neo-klasikal, dipadu dengan pengaruh lokal, dan dibangun pertama kali pada tahun 1828.




Gambar 3.1 Museum Bank Indonesia
Sumber : wisatanesia.co.id

Museum ini menyajikan informasi peran Bank Indonesia dalam perjalanan sejarah bangsa yang dimulai sejak sebelum kedatangan bangsa barat di Nusantara hingga terbentuknya Bank Indonesia pada tahun 1953 dan kebijakan-kebijakan Bank Indonesia, meliputi pula latar belakang dan dampak kebijakan Bank Indonesia bagi masyarakat sampai dengan tahun 2005. Penyajiannya dikemas sedemikian rupa dengan memanfaatkan teknologi modern dan multi media, seperti display elektronik, panel statik, televisi plasma, dan diorama sehingga menciptakan kenyamanan pengunjung dalam menikmati Museum Bank Indonesia. Selain itu terdapat pula fakta dan koleksi benda bersejarah pada masa sebelum terbentuknya Bank Indonesia, seperti pada masa kerajaan-kerajaan Nusantara, antara lain berupa koleksi uang numismatik yang ditampilkan juga secara menarik. Peresmian Museum Bank Indonesia dilakukan melalui dua tahap, yaitu peresmian tahap I dan mulai dibuka untuk masyarakat (soft opening) pada tanggal 15 Desember 2006 oleh Gubernur Bank Indonesia saat itu, Burhanuddin Abdullah, dan peresmian tahap II (grand opening) oleh Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono, pada tanggal 21 Juli 2009.

Arsitektur Bangunan

Gambar 3.2 Arsitektur Museum Bank Indonesia
Sumber : perbankan.org

  • Louvre, konstruksi kubah sebagai ornamen atap.
  • Lantern, bukaan jendela pada Louvre untuk penerangan alami dan ventilasi.
  • Lucarne, jendela pada bidang atap miring sebagai ornamen dekoratif juga penerangan alami dan ventilasi.
  • Amortizement, ornamen dekoratif di ujung/pengakhiran atap.
  • Balustrade, ornamen pembatas kepala dan badan bangunan, serta pada badan ke kaki bangunan.
  • Tympanium,konstruksi dinding berbentuk segitiga di atas pintu masuk utama.
  • Deretan kolom mengapit jendela.
  • Jendela memanjang ke arah vertikal.
  • Oculus, bukaan berbentuk persegi dan setengah lingkaran pada kaki bangunan.


Gambar 3.3 Denah Museum Bank Indonesia
Sumber : Google image


3.2         Gedung Bank Bumi Daya ( Bank BNI 46 )

Sejarah
Bank Bumi Daya adalah sebuah bank pemerintah yang pernah ada di Indonesia. Bank ini dimerger dengan tiga bank lainnya pada Juli 1999 untuk membentuk Bank Mandiri. Bank Bumi Daya didirikan melalui suatu proses panjang yang bermula dari nasionalisasi sebuah perusahaan Belanda De Nationale Handelsbank NV, menjadi Bank Umum Negara pada tahun 1959.


 
Gambar 3.4 Museum Bank Bumi Daya
Sumber : Jakarta.co.id

Pada tahun 1964, Chartered Bank (sebelumnya adalah bank milik Inggris) juga dinasionalisasi, dan Bank Umum Negara diberi hak untuk melanjutkan operasi bank tersebut. Pada tahun 1965, Bank Umum Negara digabungkan ke dalam Bank Negara Indonesia dan berganti nama menjadi Bank Negara Indonesia Unit IV. Tiga tahun kemudian, Unit IV tersebut dipecah menjadi bank independen bernama Bank Bumi Daya.

Arsitektur Bangunan


Gambar 3.5 Arsitektur Museum Bank Bumi Daya
Sumber : Jakarta.go.id

  • Louvre, konstruksi kubah sebagai elemen dekoratif atap.
  • Lantern, jendela kecil pada Louvre untuk penerangan dan penghawaan alami.
  • Balustrade, ornamen pada tepi atap mulai melebar
  • Kolom Corinthian mengapit lubang jendela bawah bangunan.
  • Oculus, lubang hawa/ventilasi di kaki bangunan jendela dibuat menjorok ke dalam tanpa meninggalkan konsep langgam Renaissance.

3.3         Museum Fatahillah

Sejarah
Pada tahun 1937, Yayasan Oud Batavia mengajukan rencana untuk mendirikan sebuah museum mengenai sejarah Batavia, yayasan tersebut kemudian membeli gudang perusahaan Geo Wehry & Co yang terletak di sebelah timur Kali Besar tepatnya di Jl. Pintu Besar Utara No. 27 (kini Museum Wayang) dan membangunnya kembali sebagai Museum Oud Batavia. Museum Batavia Lama ini dibuka untuk umum pada tahun 1939.


Gambar 3.6 Museum Fatahillah
Sumber : Wikipedia.org

Pada masa kemerdekaan museum ini berubah menjadi Museum Djakarta Lama di bawah naungan LKI (Lembaga Kebudayaan Indonesia) dan selanjutnya pada tahun 1968 ‘’Museum Djakarta Lama'’ diserahkan kepada PEMDA DKI Jakarta. Gubernur DKI Jakarta pada saat itu, Ali Sadikin, kemudian meresmikan gedung ini menjadi Museum Sejarah Jakarta pada tanggal 30 Maret 1974.
Untuk meningkatkan kinerja dan penampilannya, Museum Sejarah Jakarta sejak tahun 1999 bertekad menjadikan museum ini bukan sekadar tempat untuk merawat, memamerkan benda yang berasal dari periode Batavia, tetapi juga harus bisa menjadi tempat bagi semua orang baik bangsa Indonesia maupun asing, anak-anak, orang dewasa bahkan bagi penyandang cacat untuk menambah pengetahuan dan pengalaman serta dapat dinikmati sebagai tempat rekreasi.

Arsitektur Bangunan


 
Gambar 3.7 Arsitektur Museum Fatahillah
Sumber : tempatwisatamu.com

  • Jendela dan Pintu masuk berbentuk busur. Daun jendela berjenis krepyak, Jendela pada lantai 1-2 tanpa pelindung/sirip,hanya teritisan atap. 
  • Arsitektur bangunannya bergaya Neoklasik.
  • Kusen pintu dan jendela dari kayu jati berwarna hijau tua
  • Bagian atap utama memiliki penunjuk arah mata angin.
  • Pekarangan dengan susunan konblok,
  • Memiliki luas lebih dari 1.300 meter persegi
  • Sebuah kolam dihiasi beberapa pohon tua.

3.4         Museum Keramik dan Seni Rupa

Sejarah
Gedung yang diresmikan pada 12 Januari 1870 itu awalnya digunakan oleh Pemerintah Hindia Belanda untuk Kantor Dewan Kehakiman pada Benteng Batavia (Ordinaris Raad van Justitie Binnen Het Kasteel Batavia). Saat pendudukan Jepang dan perjuangan kemerdekaan sekitar tahun 1944, tempat itu dimanfaatkan oleh tentara KNIL dan selanjutnya untuk asrama militer TNI.


Gambar 3.8 Museum Keramik dan Seni rupa
Sumber : Wikipedia.org


Pada 10 Januari 1972, gedung dengan delapan tiang besar di bagian depan itu dijadikan bangunan bersejarah serta cagar budaya yang dilindungi. Tahun 1967-1973, gedung tersebut digunakan untuk Kantor Walikota Jakarta Barat.[1] Dan tahun 1976 diresmikan oleh Presiden (saat itu) Soeharto sebagai Balai Seni Rupa Jakarta.

Pada 1990 bangunan itu akhirnya digunakan sebagai Museum Seni Rupa dan Keramik yang dirawat oleh Dinas Kebudayaan dan Permuseuman DKI Jakarta.

Arsitektur Bangunan

Gambar 3.9 Arsitektur Museum Keramik dan Seni Rupa
Sumber : liburanmurah.web.id

  • Tympanium pada main entrance.
  • Balustrade,  ornamen tepi atap sebagai transisi atap ke badan.
  •  Kolom order Doric yang teratur.
  • Bentuk jendela vertikal, dengan daun jendela jenis krepyak.
  • Pediment merupakan bagian berbentuk segitiga pada muka bangunan yang menopang atap.
  • Terdapat ornamen pada pembatas kepala dan badan bangunan yang disebut dengan balustrade. 

 
Gambar 3.10 Denah Museum Keramik dan Seni rupa
Sumber : museumsenirupa.com


3.5         Museum Wayang

Sejarah

Gambar 3.11 Museum Wayang
Sumber : Wikipedia.org

Gedung yang tampak unik dan menarik ini telah beberapa kali mengalami perombakan. Pada awalnya bangunan ini bernama De Oude Hollandsche Kerk ("Gereja Lama Belanda") dan dibangun pertamakali pada tahun 1640. Tahun 1732 diperbaiki dan berganti nama De Nieuwe Hollandse Kerk (Gereja Baru Belanda) hingga tahun 1808 akibat hancur oleh gempa bumi pada tahun yang sama. Di atas tanah bekas reruntuhan inilah dibangun gedung museum wayang dan diresmikan pemakaiannya sebagai museum pada 13 Agustus 1975. Meskipun telah dipugar beberapa bagian gereja lama dan baru masih tampak terlihat dalam bangunan ini.

Arsitektur Bangunan


 Gambar 3.12 Arsitektur Museum Wayang
Sumber : edupaint.com

  • Merniliki ciri arsitektur Barat {Eropa) 
  • Amortizement, ornament di ujung/puncak dan tepi atap.
  •  Elemen busur di atas jendela
  •  Jendela, proporsinya memanjang kearah vertikal, dibuat menjorok ke dalam tanpa sirip/pelindung.
  • Jendela atau pintu jendela lebar-lebar dan pintu yang terbuat dari kayu jati yang masif
  • Tympanium, konstruksi dinding berbentuk segitiga di atas pintu utama.
  • Kolom order Doric menyangga Tympanium.




BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan uraian diatas baik dari informasi yang digali dari berbagai sumber hasil penelitian, maka di kawasan kota tua menunjukkan fakta bahwa sebagai kawasan yang terletak di pusat kota yang menjadi cikal bakal kota Jakarta yang sebagian aktivitas kawasannya ditinjau dari aspek fisik bangunan dan kawasan, sosial, budaya dan perekonomian yang sebagian masih bertahan dengan citra kawasan yang  terciptasekarang dengan perkembangan kotanya. Ciri-ciri yang tampak adalah adanya aktivitas para pelaku di kawasan tersebut dengan style dan gaya terkini, bergeser dari fungsi awal kawasan tersebut, begitu pula dengan beberapa bangunan-bangunan di kawasan ini telah terevitalisasi dengan fungsinya yang dibutuhkan oleh masyarakat kota sekarang.
Pada awalnya, proses konservasi yang dilakukan dimulai dengan melihat permasalahan: Bagaimana menjadikan kembali kawasan Kota tua sebagai kawasan yang responsif terhadap perkembangan kota, juga menaikkan nilainilai kelayakan visual yang terdapat di dalamnya tetapi juga dapat mempertahankan sifatnya sebagai kawasan ekonomi dan perdagangan. Adanya beberapa fakta terjadinya proses kebertahanan kawasan dalam berbagai aspek, terutama dari aspek fisik kawasan, Untuk pembenahan visual dan fisik, metode Context and Contrast atau dengan pendekatan harmonis atau kontras lebih dapat digunakan. Penelitian ini sementara menghasilkan/menemukan tiga Konsep Ruang, yakni: Konsep Ruang Interaksi Masyarakat, Konsep Ruang Pentas Temporer dan Konsep Ruang Ekonomi dan Perdagangan.




DAFTAR PUSTAKA


Boutet, S. Terry, 1987, Controlling Air  Movement –A
manual for archiyects and Builders- McGrawHill Book Co, New York.
commons.wikimedia.org/wiki/Image:St._Peter's_,Image:
St.Peter's Basilica Facade,Rome, June2004.jpg
Dinas Tata Bangunan dan Pemugaran DKI Jakarta,
1990,  Jejak Jakarta Pra-1945
Smith, Roger, 1987, An Illustrated of History
Architectural Style, Omega Books.
Sumintardja, Djauhari, 1978, Kompendium Sejarah
Arsitektur, Lembaga Penelitian Masalah Bangunan- Bandung,.
Watkin, David, 1996, A History Of Western
Architecture,LaurenceKing.
www.pitt.edu/~tokerism/0040/syl/src1030.html, Early
Renaissance Architecture







Komentar

Postingan populer dari blog ini

Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kota Depok

Peraturan Daerah (RTRW) Kabupaten Bekasi

Surat Perjanjian Kontrak Pembangunan Rumah